welcome to @dW_coffee blog official

Sabtu, 25 Oktober 2014

Resensi Buku Globuckisasi [ Meracik Globalisasi melalui Secangkir Kopi]



The 10 Second Rule

Starbucks Renowed freshness standars ensure that you enjoy flavorful espresso.
We use each shot of our rich Espresso Roast within 10 seconds, or we pour it out.
This rule is your gurantee that espresso is always fresh and made to order.



(Rahayu Kusasi: 2010: The 10 second Rule; Buku Globuckisasi [ Meracik Globalisasi melalui Secangkir Kopi])

buku Buku Globuckisasi [ Meracik Globalisasi melalui Secangkir Kopi ]

Dalam bukunya Rahayu Kusasi, Coffee culture merupakan bagian dari globalisasi. Budaya ngopi ialah komposisi dalam ekonomi-politik, di lain sisi penulis mengajak para pembacanya untuk berpikir secara terbatas, yaitu sebatas bar di mana seorang barista harus memiliki ketelitian, speed yang konstan serta gairah untuk memberikan servis dalam peracikan serta penyajian kopi.

sumber dari : blogbukuhelvry.blogspot.com
Ada beberapa hal yang digali Ayu dalam buku ini, yaitu penyatuan antara negara satu dengan yang lain. Benua satu dengan benua yang lain. Tidak terbatas, tanpa hambatan. Melalui metode etnografis, secara apik Ayu menceritakan sejarah penyebaran kopi di awal babnya. Mulai dari perjalanan Biji Kopi, Ethiopia hingga berhenti di Starbucks. Coffee shop yang tidak sekedar menjual kopi, tapi lebih dari kopi. 

Lewat Kopi terjalinnya globalisasi melalui budaya, percakapan, frekuensi bertemu, pengalaman, dan lokasi. Ada beberapa kajian teori yang penulis uraikan, yaitu Foster, Jonathan Xavier Inda dan Renato Rosaldo,Mike Featherson, David Held. Sedangkan dalam proses dialog kebudayaan, seorang sosiolog bernama Ulrich Beck menjadi acuan berpikir penulis, bahwa kebudayaan terjadi melaui proses dalam imajinasi. 

Ada hal yang unik dibahas penulis dalam dapur Starbucks. Bahwa Starbucks menjaga kualitasnya mulai dari bahan mentah utama sampai perawatan. Sampai pembersih lantai, pembersih gelas dan perkakas dan “Sharpie” spidol yang dipakai Starbucks dalam penamaan kopinya. Ada kontradiksi yang penulis ceritakan di sini, di mana Starbucks  tetap harus bergantung pada bahan lokal. Ada semacam penekanan secara malu-malu dari penulis di garis ini. Tetapi dalam penyebarannya, Starbucks berani keluar dari teori lokasi ekonomi pada umumnya. Starbucks berhasil merenggut “keegoisme-an” konsumen.

Dalam selanjutnya, Penulis menceritakan pengalamannya menjadi Barista Amerika-Amerika kecil. Dari hari pertama training, mencoba berjualan di balik mesin register (POS) dan blender, dan pembuatan espresso. Seorang barista juga harus memiliki indera keenam yaitu menggunakan naluri dalam menghemat waktu dan tenaga. Pada Bab 4 dan 5, Penulis menjabarkan mengenai kafein dan melek globalisasi, saat Starbucks bertemu Indonesia dan diakhiri dengan apik oleh bahasannya tentang diplomatis Identitas di atas secangkir kopi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar